Pembentukan Lpkd Masih Terkendala Modal

Kurangnya modal dalam pembentukan Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD) mengemuka pada ketika Workshop Pengembangan LPKD yang diselenggarakan BI dan JICA tanggal 24 Pebruari 2010. Modal LPKD minimal Rp. 50 milyar sesuai PMK No.222/2008 bagai momok yang angker bagi Pemerintah Daerah Daerah yang sebetulnya nilai modal tersebut relatif kecil dibandingkan dengan APBD yang diterima setiap tahunnya. Politic will Pemerintah Daerah dalam memandang urgensi LPKD masih rendah walaupun disadari bahwa LPKD telah terbukti sanggup membantu kegiatan pemerintah kawasan dalam mengembangkan UMKM , menyerap tenaga kerja dan memperkuat struktur ekonomi daerah. Saat ini sudah terbentuk LPKD dibeberapa provinsi menyerupai di Jawa Timur, Riau dan Bali. Seyogyanya alasan kurangnya modal dalam pembentukan LPKD ialah kurang sempurna lantaran semua itu tergantung pada politic will Pemerintah Daerah semata.

Potensi Kredit UMKM Cukup Besar
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), pada tahun 2009 jumlah kredit yang disalurkan ke masyarakat sekitar 52 % diperuntukan untuk UMKM. Pertumbuhan kredit UMKM cenderung meningkat dan masih lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kredit non UMKM dan kredit perbankan. Dengan jumlah kredit UMKM yang relatif besar ini merupakan potensi ekonomi luar biasa yang sanggup dipakai sebagai potensi bisnis penjaminan kredit UMKM. Pangsa penyaluran kredit MKM hingga dengan tahun 2006 lebih didominasi oleh kredit mikro. Pada tahun 2007 – 2008 relatif berimbang antara kredit mikro dengan kredit kecil, sedangkan pada tahun 2009 lebih banyak ditujukan ke kredit kecil yaitu sekitar 37,7 % Kondisi ini memperlihatkan pertumbuhan kredit kecil sebesar 28,3 % tumbuh lebih besar dibandingkan dengan kredit mikro (9,1 %) dan menengah sebesar 4,7 %. Pada tahun 2009, performance (NPL) kredit UMKM lebih kecil dari 5 % dengan rincian yaitu NPL kredit mikro sebesar 4,36 %; kredit kecil sebesar 2,07 % ; dan kredit menengah sebesar 3,48 %. Apabila kredit UMKM dilihat dari sektor ekonomi maka kredit UMKM di sektor perdagangan, restoran & hotel paling besar yaitu 25,9 % yang kemudian diikuti dengan sektor jasa sebesar 6,2 % dan industri 5,8 %. Penyerapan kredit perbankan oleh UMKM belum optimal lantaran masih banyak UMKM yang belum menikmati susukan pembiayaan dari perbankan atau Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB). Berdasarkan data BPS, pada tahun 2008 jumlah unit UMKM sebanyak 51,26 juta unit dan jumlah UMKM yang terhubung dengan perbankan gres sebesar 21,9 % ataua sebanyak 11,22 juta unit.
UMKM yang belum terhubung dengan perbankan ini disinyalir disebabkan lantaran UMKM yang mempunyai perjuangan feasible namun tidak bankable, juga bisa disebabkan oleh UMKM yang memang belum tersentuh oleh pelayanan perbankan lantaran tidak sanggup menembus keberadaan UMKM di kawasan atau ketidaktahuan UMKM atas pelayanan perbankan yang sanggup mengakomodir kebutuhan finansial UMKM. Lepas dari itu semua, potret kondisi UMKM ini bisa menjadi potensi ekonomi yang besar dengan memperlihatkan kesempatan ekonomi pada UMKM untuk berkontribusi lebih besar dalam perekonomian nasional.

Permasalahan Modal LPKD
Peranan ekonomi UMKM yang terbukti sangat besar dalam pertumbuhan ekonomi selama ini, perlu didukung dan dikembangkan dengan jalan membantu kesulitan UMKM dalam mendapatkan pembiayaan untuk modal kerja maupun investasi. Jumlah UMKM yang mempunyai perjuangan yang feasible namun tidak bankable diperkirakan masih banyak dan tersebar diseluruh kawasan di Indonesia. Untuk mengembangkan UMKM menyerupai ini Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi pada bulan Juni 2007 yang dituangkan dalam Inpres No. 6/2007 wacana Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM. Salah satu kebijakannya ialah memperkuat sistem penjaminan kredit bagi UMKM antara lain dengan:

(1) Meningkatkan kapasitas dan aakses UMKM-K kepada forum keuangan; (2) Memperkuat sistem penjaminan kredit; dan (3) Optimalisasi penggunaan dana non bank untuk memperkuat UMKM-K. Berdasarkan Inpres No. 6/2007 tersebut, pemerintah telah menugaskan 2(dua) Perusahaan Penjaminan yaitu PT. Askrindo (Persero) dan Perum Jamkrindo untuk melaksanakan penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kapasitas ke dua perusahaan penjaminan tersebut ketika ini belum bisa melayani UMKM di seluruh pelosok kawasan di Indonesia yang disebabkan lantaran masih kurangnya jaringan pelayanan perusahaan penjaminan dan kurangnya kapasitas penjaminan untuk menjamin KUR di seluruh kawasan Indonesia. Keberadaan UMKM sebagian besar berada di tingkat Kabupaten/Kota yang memang memerlukan pelayanan yang lebih progresif dan perlu dijangkau oleh perusahaan penjaminan.

Program Inpres No. 6/2007 sanggup diimplementasikan secara optimal dengan pinjaman perusahaan penjaminan yang tersebar di seluruh provinsi atau kawasan tingkat II di Indonesia. Untuk itu diharapkan suatu Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD) yang sanggup bekerja di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Tujuan pendirian LPKD antara lain untuk membantu mengatasi susukan kredit/pembiayaan UMKM dari perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank juga memperlihatkan kemudahan penjaminan kredit/pembiayaan bagi UMKM melalui prosedur penjaminan kredit daerah. Pola penjaminan kredit dengan skim LPKD ini sebetulnya telah dirintis oleh PT. Askrindo semenjak tahun 1997. PT. Askrindo sebagai perusahaan penjaminan milik pemerintah semenjak tahun 1997 telah melaksanakan skim penjaminan kredit dengan teladan LPKD ini di beberapa provinsi namun belum optimal lantaran keterbatasan kapasitas penjaminan dan regulasi pemerintah belum mendukung dalam mengembangkan penjaminan kredit dengan skim LPKD tersebut. . PT. Askrindo sanggup dikatakan sebagai pioner dalam pembentukan LPKD di daerah.
Pada tanggal 24 Pebruari 2010 telah diselenggarakan suatu workshop yang dilaksanakan oleh BI dan JICA untuk membahas pengembangan LPKD di Indonesia. Workshop yang dihadiri antara lain oleh Pemerintah Daerah seluruh Indonesia, BPD, Perusahaan Penjaminan, dan Regulator telah meng-clear-kan persoalan regulasi atau aturan yang selama ini menjadi kendala pendirian LPKD dengan dibuktikannya pembentukan LPKD Jamkrinda Jawa Timur. LPKD Jamkrida Jatim ini didirikan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur nomor 4 tahun 2009 tanggal 16 Juli 2009 dan Keputusan Menteri Keuangan RI No: KEP-471/KM.10/2009 tanggal 17 Desember 2009 wacana Pemberian Ijin Usaha Perusahaan Penjaminan Kredit kepada PT. Jamkrida Jatim. Dalam workshop tersebut juga mengemuka mengenai permasalahan modal yang dipersyaratkan dalam membentuk LPKD sesuai dengan PMK No. 222/PMK.010/2008 wacana Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. Pada pasal 11 dalam PMK No. 222/2008 tersebut dikatakan bahwa Jumlah Modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah penjaminan ditetapkan paling sedikit sebesar: a). Rp. 100 milyar untuk lingkup nasional; dan b) Rp. 50 milyar untuk lingkup provinsi. Ketentuan modal dalam PMK tersebut berdasarkan Pemerintah Daerah telah menjadi kendala yang konkret dalam pembentukan LPKD lantaran tidak semua provinsi atau tingkat kabupaten/kota mampu.

Solusi Modal LPKD
Permasalahan modal dalam pembentukan LPKD seharusnya tidak perlu terjadi lantaran Pemerintah Daerah mempunyai potensi keuangan yang besar. Kesulitan modal yang mengemuka dalam workshop pengembangan LPKD di atas merupakan cermin kurang kuatnya politic will Pemerintah Daerah dalam mendukung pembentukan LPKD. Ada banyak sekali cara atau taktik untuk mengatas permasalahan modal dalam pembetukan LPKD tersebut yaitu: (1). LPKD intinya didirikan melalui prosedur pembiayaan bersama (joint service/contract agreement) bersama pemerintah sentra (melalui PMN) dan sanggup juga secara regional dengan prinsip co-sharing dan co-financing oleh dan antar pemerintah kawasan baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Permasalahan modal dalam pembentukan LPKD sanggup diselesaikan dengan cara adanya co-sharing antara pemerintah tingkat provinsi dengan tingkat kabupaten/kota yang berada dalam wilayah provinsi tersebut. Misal di provinsi A ada sepuluh kabupaten/kota maka untuk mencapai persyaratan modal Rp 50 miliar maka setiap pemda di tingkat provinsi atau kab/kota bisa sharing minimal Rp. 5 miliar. Pemerintah Daerah di tingkat kab/kota ataupun di tingkat provinsi sanggup memperoleh manfaat LPKD ini dengan mengajukan jumlah UMKM di masing-masing kabupaten/kota atau provinsi yang layak dibantu dengan penjaminan kredit UMKM. Proses seleksi UMKM yang layak dari kabupaten/kota yang telah memperlihatkan donasi modal ini perlu dilaksanakan secara profesional (bebas KKN) dan adil sesuai dengan profil perjuangan UMKM yang layak di bantu oleh kegiatan penjaminan UMKM. Dengan demikian, ada azas manfaat donasi modal pemda kab/kota dalam membentuk LPKD di daerah; (2). Kebutuhan persyaratan modal dalam pembentukan LPKD intinya muncul lantaran ada kekhawatiran dalam penyelesaian klaim penjaminan kredit UMKM. Kekhawatiran tidak adanya kemampuan penyelesaian klaim yang terjadi ini sanggup diselesaikan dengan melibatkan perusahaan penjaminan milik pemerintah menyerupai PT. Askrindo dan Perum Jamkrindo yang sudah mempunyai kapasitas penjaminan yang relatif besar. Pemerintah harus memposisikan dan mendukung kedua perusahan tersebut sebagai Holding Company dari LPKD yang akan didirikan di kawasan sehingga persyaratan modal pembentukan LPKD menjadi menurun lantaran sudah didukung secara finansial oleh kedua perusahaan. Dengan sistem pembentukan holding company tersebut, syarat permodalan LPKD sanggup diturunkan misal menjadi Rp. 5 miliar saja. Dengan sistem holding company dalam pembentukan LPKD kawasan ada beberapa keunggulan yaitu: a). Dapat dilakukannnya transfer kemampuan dann pengalaman penjaminan kredit dengan skim LPKD dari kedua perusahaan penjaminan yang sudah terbukti mempunyai kemampuan dan pengalaman dalam bidang tersebut dalam bentuk technical assistence.; b). Pembentukan LPKD sanggup segera dilakukan lantaran memperoleh pinjaman kapasitas penjaminan dari perusahaan penjaminan tersebut sehingga persyaratan permodalan menjadi lebih rendah dan sanggup dipenuhi oleh seluruh pemda di Indonesia; dan c) sanggup membuatkan risiko penjaminan ulang (re-guarantee) melalui prosedur holding company ini sehingga sanggup menurunkan risiko yang dialami oleh LPKD. Peranan pemerintah sentra dalam sistem holding ini ialah secara terus menerus memperlihatkan pinjaman finansial kepada kedua perusahaan penjaminan tersebut secara proporsioanal berdasarkan kinerja penjaminan kredit dengan jalan memperlihatkan Penyertaan Modal Negara (PMN). Dana PMN ini diposisikan sebagai modal untuk memperkuat kapasitas penjaminan bukan sebagai dana untuk membayar klaim lantaran diyakini kredit UMKM yang disalurkan diperkirakan akan terus meningkat yang membutuhakn peningkatan kapasitas penjaminan pula: dan (3) Untuk mendukung kapasitas LPKD yang memerlukan persyaratan modal yang masih dianggap tinggi oleh Pemda, maka cara lain yang sanggup dilakukan ialah mem-PSO-kan perjuangan penjaminan kredit UMKM di kawasan yang ditanggung oleh Pemda. Mekanisme public service obligation (PSO) untuk kegiatan ini di tingkat provinsi atau kab/kota memang belum ada regulasinya yang terperinci mengaturnya dan PSO yang ada gres di tingkat Pemerintah Pusat yang diperuntukan pada kalangan perusahaan nasional milik negara menyerupai yang tercantum pada UU No. 40 tahun 2007 wacana PerseroanTerbatas. Dengan menganggap penjaminan kredit dengan skim LPKD sebagai PSO daerah, maka LPKD kawasan mempunyai kemampuan penyelesaian klaim yang relatif tinggi lantaran kerugian LPKD akhir klaim ditanggung pemda sehingga sanggup menjadi alasan yang berpengaruh untuk menurunkan persyaratan modal pembentukan LPKD. Pemerintah Pusat sebagai regulator tentunya harus memikirkan terobosan kebijakan PSO kawasan ini supaya sanggup meningkatkan pelayanan kemanfaatan umum hingga seluruh pelosok kawasan di Indonesia yang seharusnya mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kemanfaatan umum tersebut. Dalam menjalankan teladan PSO bagi perusahaan kawasan BUMN in perlu dilakukan secara profesional sehingga memenuhi penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan terhindar dari praktek KKN.

LPKD merupakan salah satu kegiatan kerakyatan yang mendukung ekonomi kerakyatan yang sudah sepantasnya memperoleh prioritas utama pemerintah dalam mengembangkan UMKM di daerah. Untuk itu pemrintah harus all out mendukung pembentukan LPKD di seluruh kawasan sehingga tidak muncul lagi permasalahan modal pembentukan LPKD. Permasalahan utama dalam pembentukan LPKD ialah kemauan (politic will) dari Pemerintah Daerah bukan permsalahan modal. Kini semua terperinci keberhasilan pembentukan LPKD berpulang pada kemauan pemerintah sentra dan daerah.

*) Mulyono, SE, MM, pengamat Penjaminan Kredit
Sumber http://mulyono-oke.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel