Gearing Ratio Dalam Bisnis Penjaminan Kredit

Kapasitas penjaminan sangat memilih berapa besar jumlah penjaminan yang dilakukan. berdasarkan ketentuan yang berlaku, Lembaga Penjaminan dihentikan melaksanakan penjaminan melebihi kapasitas penjaminannya alasannya yaitu dikhawatirkan akan mengalami kesulitan dalam penyelesaian klaim yang pada jadinya akan merugikan akseptor jaminan dan atau terjamin. Salah satu ukuran untuk mengukur kapasitas penjaminan yaitu gearing ratio.
Gearing Ratio merupakan suatu ukuran kapasitas portofolio penjaminan yang dilakukan perusahaan penjaminan dalam satu periode tertentu. Pengertian Gearing ratio yang harus dipahami yaitu dalam penentuan gearing ratio dikaitkan dengan tingkat NPL kredit perbankan atau Non Performance Guarantee (NPG) dalam penjaminan. Kaprikornus bukan semata-mata hanya mempertimbangkan outstanding penjaminan terhadap modal sendiri (ekuitas).
Misal:
Ada modal Equity sebesar Rp. 1 triliun, berdasarkan data empiris ternyata NPL kredit perbankan rata-rata sebesar 10 %. Agar Penjaminan mempunyai kemampuan penyelesaian klaim dengan tingkat NPL 10 % maka ditetapkan gearing ratio sebanyak 10 kali yang artinya bahwa kemampuan/kapasitas penjaminan dengan ekuitas Rp. 1 triliun yaitu bisa menutup penjaminan sebesar Rp. 10 triliun.
Jika rata-rata NPL 5 % dan ekuitas Rp 1 triliun maka gearing ratio-nya yaitu
= (100/5) X Rp. 1 triliun
= Rp. 20 triliun atau 20 kali dari ekuitas
Jika rata-rata NPL 4 % dan ekuitas Rp. 1 triliun, maka gearing ratio ditetapkan menjadi
= (100/4) X Rp. 1 triliun
= Rp. 25 triliun atau 25 kali dari ekuitas

Dengan demikian, apabila Penjamin telah menutup penjaminan melebihi gearing ratio maka kesehatan keuangannya akan terancam dan akan menggerus ekuitas Perusahaan. Penggerusan ekuitas perusahaan akan terjadi bila telah melebihi gearing ratio namun dengan tingkat NPL yang lebih besar dari perkiraan NPL yang dipakai dalam penetapan gearing ratio juga lebih besar dari rate Imbal Jasa Penjaminan (IJP). Disamping itu, besaran NPL/NPG kuat atas kemampuan LPK melaksanakan penyelesaian klaim. Misal dalam penetapan gearing ratio mengasumsikan NPL sebesar 5 %, namun realisasi ternyata NPL 10 % maka akan menggerus ekuitas dan mengganggu kesehatan keuangan. Demikian juga dengaan rate IJP, jikalau Rate IJP yang diterima hanya 1,5 % namun NPL di atas rate IJP (misal 2,3 %) maka sanggup dipastikan ekuitas perusahaan akan tergerus. Berdasarkan hal ini, selain memperhatikan kapasitas penjaminan dengan indikator gearing ratio juga perlu diperhatikan deviasi rate IJP dengan rata-rata NPL atau NPG. ada beberapa cara untuk menyelamatkan ekuitas perusahaan dari nilai penjaminan yang melebihi batas gearing ratio yaitu dengan menambah ekuitas perusahaan dengan cara suntikan dana atau meningkatkan penerimaan premi atau menaikkan rate IJP diatas realisasi nilai NPL/NPG.

Secara konseptual, Gearing Ratio diukur berdasarkan ratio antara outstanding penjaminan terhadap modal sendiri (ekuitas), mengingat besarnya Gearing Ratio merupakan citra antara besarnya kewajiban perusahaan penjaminan dengan modal sendiri yang dimiliki. Gearing Ratio juga merupakan suatu ukuran kesehatan bagi perusahaan penjaminan, disamping ratio likuiditas dan solvabilitas. Besarnya Gearing Ratio sangat ditentukan oleh tingkat rata-rata Non Performing Guarantee (NPG) yang dihadapi perusahaan penjaminan atau NPL kredit perbankan.

Dalam perhitungan Gearing Ratio perlu ada perbedaan kapasitas per terjamin (badan perjuangan atau individual) atas dasar tingkat risiko penjaminan antara yang berbasis agunan dengan yang berbasis tanpa agunan. Kapasitas penjaminan per terjamin untuk yang berbasis agunan lazimnya lebih besar dari yang berbasis tanpa agunan.
Untuk menjaga performance industri penjaminan yang baik, tentunya duduk kasus Gearing Ratio harus diatur lebih lanjut di dalam peraturan atau Undang-Undang Penjaminan. Namun perlu diingat bahwa kurang efektif bahwa gearing ratio dipakai sebagai salah satu alat untuk memaksa Lembaga Penjaminan untuk mencapai gearing ratio yang telah ditetapkan sebagai indikator keberhasilan penjaminan. Hal ini alasannya yaitu penyaluran kredit yang kuat atas pencapaian gearing ratio bukan domain Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) untuk memaksa perbankan untuk menjaminkan kreditnya.

Gearing ratio sanggup dipakai sebagai ukuran keberhasilan LPK (Lembaga Penjaminan Kredit) dalam menutup penjaminan jikalau LPK tersebut dalam perjuangan mendukung aktivitas pemerintah ibarat KUR Inpres No. 6/2007 dimana perbankan yang terlibat memperoleh dorongan dari pemerintah biar mendukung aktivitas KUR tersebut. Gearing ratio yang dipakai pada aktivitas ini juga sanggup dijadikan dasar dalam dukungan modal kapasitas dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) secara proporsional kepada LPK sehingga perjuangan penjaminan lebih sehat, adil, dan dinamis.
Sumber http://mulyono-oke.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel